KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN BERBASIS SIBER

 KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN BERBASIS SIBER

Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Siber mengacu pada tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang dilakukan sebagian atau sepenuhnya melalui teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Tindakan ini termasuk, antara lain, penguntitan siber (cyberstalking), intimidasi, pelecehan siber, pelecehan di berbagai platform, serangan melalui komentar, mengakses, mengunggah atau menyebarkan foto intim, video, atau klip audio tanpa persetujuan, mengakses atau menyebarkan data pribadi tanpa persetujuan, doxing (mencari dan mempublikasikan data pribadi seseorang) dan pemerasan seksual (sextortion). 

Komnas Perempuan menerima pengaduan 940 kasus Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Siber. Bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup beragam dan sebagian besar masih dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban, seperti pacar, mantan pacar, dan suami korban sendiri. Luasnya akses dalam ranah dunia maya juga memungkinkan adanya pihak lain yang menjadi pelaku kekerasan. Kecepatan, daya luas, anominitas dan lintas negara menunjukkan kejahatan siber bukanlah bentuk kekerasan terhadap perempuan biasa, namun dapat menjadi bagian dari kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah.Rekomendasi Umum Komite CEDAW 35/2017 juga menegaskan dimungkinkan adanya pelaku kekerasan seksual oleh korporasi. Rekomendasi ini juga menekankan adanya diskriminasi berlapis yang menyebabkan perempuan dalam kelompok tertentu atau minoritas menjadi lebih rentan terhadap kekerasan seksual termasuk yang difasilitasi teknologi informasi dan komunikasi. 


Korban KDRT dan TPPO dalam Kasus Pornografi di Garut 

Pada Agustus 2019, publik dikejutkan oleh unggahan video hubungan seksual antara satu perempuan dengan 3 orang lelaki. PA (19) perempuan, AG (29), WW (41) dan AK (31) mantan suami PA. Untuk berhubungan seksual AK menetapkan tarif Rp.500.000 sampai Rp.600.000, merekam, mengunggah dan memperjualbelikannya dengan harga Rp. 50.000,- untuk satu video dengan cara memberikan link google drive. 

Komnas Perempuan melakukan pemantauan lapangan dan menemukan fakta bahwa PA adalah korban perkawinan anak, korban KDRT dalam berbagai bentuk (fisik, psikis, seksual dan ekonomi) juga korban TPPO. Ketika suami mulai memaksa PA untuk melakukan hubungan seksual dengannya dan orang lain secara bersama-sama, dengan tegas PA menolak ajakan tersebut dengan kabur dari kediaman bersama. Namun, kembali lagi setelah suami berjanji tidak akan meminta lagi. Dengan tipu daya suami mengajak PA ke penginapan untuk istirahat atau bosan dengan suasana rumah, padahal di sana telah ada laki-laki lain yang sebelumnya telah bertransaksi dengan suaminya. 

PA disangka melanggar pasal 34 UU RI No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan dituntut 5 tahun pidana penjara denda 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Komnas Perempuan menjadi Ahli dalam persidangan untuk menyampaikan pendapat tentang posisi rentan PA sebagai anak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), relasi kuasa dalam perkawinan dan riwayat kekerasan yang dialaminya. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak, PA seharusnya mendapatkan perlindungan dan tidak dapat dipidana. Demikian pula, sesuai dengan UU Pornografi yang digunakan dalam perkara ini, unsur dengan sengaja atau atas persetujuan tidak terpenuhi. Justru unsurnya yang terpenuhi adalah kondisi PA dipaksa dengan ancaman atau diancam 96 atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain sehingga ia tidak dapat dipidana. 

Majelis Hakim tingkat pertama menyatakan PA terbukti bersalah melanggar UU Pornografi, yaitu menjadi objek pornografi dan menghukum dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp. 1 miliar subsider tiga bulan penjara. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tingkat Banding. Atas kerugiannya sebagai korban TPPO, PA mengajukan uji materiil Pasal 8 UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK menolak permohonan ini dengan menilai permohonan tidak beralasan menurut hukum.


Penipuan Siber dengan Pendekatan Memperdayai Perempuan 

Pengaduan pada 2020 berawal dari satu korban penipuan yang dikenal melalui sosial media yang diadukan kepada seorang pendamping. Sepanjang tahun 2019-2020, Komnas Perempuan mengidentifikasikan 40 korban perempuan. Korban memiliki latar belakang yang beragam dan tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah uang yang ditransfer ke pelaku jumlahnya beragam mulai ratusan ribu hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Para korban menduga bahwa para pelaku tergabung dalam sebuah sindikat atau jaringan penipuan berbasis internet. Jumlah kerugian yang berhasil diidentifikasi adalah Rp. 5 Milyar. 

Pola penipuan siber ini melalui pendekatan memperdayai (grooming) dengan membangun ikatan emosional dan kepercayaan. Metode yang digunakan hampir seluruhnya sama, yakni dengan memberikan kenyamanan personal kepada korban, iming-iming janji kawin dan bertemu saat pelaku cuti atau selesai kontrak kerjanya. Namun, ada juga korban yang kena tipu atas dasar kepercayaan sebagai teman atau sahabat. Pada 10 Agustus 2020 perwakilan komunitas korban didampingi oleh advokat publik YLBHI membuat laporan di Bareskrim Polri. Selanjutnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap para saksi korban. 


Penyebaran Konten Intim Non Konsensual dan Ancaman Pemerasan dalam Relasi Pacaran 

Ancaman atau tindakan penyebaran konten intim non konsensual menjadi salah satu pola kekerasan terhadap perempuan berbasis siber yang paling banyak dilaporkan. Kasus yang mendapat penyikapan adalah yang menimpa MNW, dan IJ korban kekerasan dalam pacaran (KDP). 

MNW menjalin hubungan pacaran sejak 2012 dan sering mengalami kekerasan baik fisik, psikis maupun ekonomi. Ketika tahun 2019 korban memutuskan hubungan dengan pelaku, pelaku meretas akun media sosial, memfitnah korban, dan menyebarkan berita bohong kepada perusahaan dan pihakpihak yang bekerjasama dengan korban. Atas kejadian yang dialaminya, korban melaporkan pelaku dengan sangkaan tindak pidana pemerasan dengan ancaman melalui media elektronik (pasal 27 ayat (4) jo. pasal 45 ayat (4) UU RI No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). 

Kasus IJ, tahun 2016 korban berkenalan dengan pelaku melalui media sosial. Pada saat itu, keduanya sama-sama sedang mondok di pesantren yang berbeda. Setiap hari mereka berkomunikasi melalui ponsel. Selama pacaran, pelaku sering memaksa korban untuk melakukan aktivitas seksual secara virtual dan mengirimkan foto telanjang, atau organ seksual korban. Karena korban selalu menolak, pelaku mengancam akan memberitahu keluarga bahwa korban telah dicium dan dipeluk pelaku. Korban ketakutan hingga terpaksa menuruti permintaan pelaku. Korban seringkali memutuskan hubungan namun pelaku selalu menolak dan mengancam dengan alasan korban harus menikah dengannya. Pada Juni 2019, korban benar-benar memutus komunikasi dengan pelaku. Sejak saat itu korban mengalami teror dan ancaman dari 5 (lima) nomor Whatsapp (WA) tidak dikenal yang 97 mengirimkan foto dan video intim dirinya dan membuat WAG yang memasukkan korban dan kakak korban ke dalamnya kemudian menyebarkan foto dan video korban. Foto-foto korban juga disebar kepada teman-teman, dosen, dan saudara-saudaranya. Korban juga kembali mengalami teror melalui media sosial, kiriman paket yang berisi obat kuat dan pakaian seperti lingerie dengan sistem pembayaran Cost on Delivery.Korban memutuskan melaporkan pelaku dengan sangkaan pasal 27 ayat (1) jo. pasal 45 ayat (1) UU RI No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).


Grooming - Kekerasan Seksual - Merekam 

Kekerasan seksual yang diawali melalui dunia maya kemudian terjadi secara fisik di dunia nyata, bahkan kembali diunggah. Hal ini dialami oleh N (15 tahun), anak yang telah menjadi korban pemerkosaan berkelompok (gang rape) yang dilakukan oleh 5 (lima) orang. Korban mengenal salah satu pelaku melalui media sosial Facebook. Keduanya janjian untuk bertemu untuk menyaksikan acara hiburan. Ternyata korban dibawa ke sebuah rumah kosong di sekitar perkebunan warga. Di tempat itu telah menunggu 4 (empat) orang teman pelaku. Kelima pelaku langsung membekap mulut, mencekik leher, dan menyeret korban turun dari motor. Kelima pelaku memperkosa korban secara bergilir bahkan bersama-sama. Salah satu pelaku juga merekam adegan pemerkosaan tersebut dengan kamera ponselnya. Korban kemudian diantar oleh pelaku yang menjemputnya ke ujung jalan dekat kampung korban. Laporan korban diterima oleh Kepolisian Resort Buton.

Kenaikan jumlah kasus yang cukup mengkhawatirkan, sementara belum ada upaya pencegahan, penanganan, serta pemulihan yang sistematik, mendorong Komnas Perempuan membangun diskusi dan bangunan pengetahuan dengan berbagai pihak. Yaitu dengan Dittipidsiber Bareskrim Mabes Polri, Direktorat Pengendalian Kemenkominfo, lembaga pengada layanan, perempuan korban, jurnalis dan akademisi di berbagai daerah di Indonesia.


Referensi : https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf


https://www.budiluhur.ac.id

Komentar

Posting Komentar